Komunikasi Politik Penghuni Istana
Kesulitan ini dipahami betul Tjipta Lesmana, si penulis buku ini. Maka, Tjipta Lesmana menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) kepada sejumlah narasumbernya. Para narasumber atau informan tentu saja diseleksi secara ketat, paling kurang harus memenuhi syarat (1) menteri, pejabat atau kerabat yang seringberkomunikasi dengan presiden, (2) mempunyai daya kritis dan mampumemberikan gambaran seobjektif mungkin mengenai mantan atasannya. Dari mereka dikorek sejumlah hal, mulai tipe kepemimpinan (otoriter, demokratis, laissez faire); klasifikasi pemimpin (dominance, influencing, steadiness dan compliance); konteks komunikasi (konteks tinggi dan konteks rendah) dan pesan komunikasi (hlm. xvi-xx).
Tapi, menemukan narasumber dimaksud tentu saja tak mudah. Berbekal jaringannya yang luas, Tjipta yang menjadi jurnalis sejak 1970-an itu bisa menembus narasumber yang dekat dan paham dengan objek, yakni enampresiden (Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, MegawatiSoekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono). Sekitar 25 narasumberdikorek. Alhasil, informasi-informasi baru yang selama ini berada dibawah permukaan dapat diungkap.
Pun demikian, ia menemui kendala saat akan menguak komunikasi politik Soekarno. Pasalnya, tokoh yang dekat dan tahu seluk-beluk pribadi Bung Karno telah berkurang drastis karena banyak yang meninggal. Tjipta hanya memiliki dua narasumber tentang Bung Karno, yakni Oei Tjoe Tat(menteri di masa Soekarno) dan Sujono Sudarsono (staf Kementerian PUdi masa Soekarno) yang berhasil diburunya (hlm. 381).
Untuk menutup kekurangan ini, Tjipta terpaksa menggunakan sejumlah buku dari tokoh yang dikenal dekat dengan presiden pertama tersebut. Tentu saja selain kliping koran dan pengalamannya saat melihat langsung Bung Karno di beberapa momen dan peristiwa. Cara ini pada satu sisi menyelamatkannya. Namun, pada sisi lain tak membantu pembaca (publik di tanah air) mendapatkan perspektif dan info baru ihwal komunikasi Soekarno. Pembaca ''dipaksa'' mengunyah penafsiran (interpretasi) Tjipta atas informasi yang terkandung dalam sejumlah buku yang dikutipnya itu.
Kendala lain dialaminya terkait SBY. Kendatipun mengumpulkan data sejak lama (2002), ia hanya mampu tembus tiga narasumber yang terkait dengan SBY, yakni Burhanuddin Napitupulu, Muladi, dan Juwono Sudarsono (hlm. 386). Ihwal ini, Tjipta buru-buru memberi catatan dalam prolog (hlm. xiv). ''Awalnya hanya empat presiden yang dibahas, tanpa Soekarno dan SBY. Setelah naskah rampung, tiba-tiba tebersit dalam benak saya bahwa buku ini tidak lengkap tanpa juga menyinggung sedikit komunikasi politik presiden pertama dan terakhir.'' Maksud Tjipta, minimnya narasumber terkait SBY ini semata-semata karena keterbatasan waktu. Lagi pula, jika narasumber lain dimasukkan tentu saja tak bisa menyimpulkan bagaimana komunikasi politik SBY. Sebab, pemerintahan SBY masih berlangsung dan bukan tak mungkin ia terpilih kembali pada Pemilu 2009 sehingga berpeluang mengubah komunikasi politiknya.
Temuan Tjipta sendiri layak diperhatikan. Seluruh presiden cenderung alergi dengan kritik, meskipun cara merespons kritik yang dialamatkan pada mereka berbeda satu sama lain. Mereka juga bisa marah, meskipun beda cara dalam mengungkapkannya. Karakter, latar belakang budaya, dan pendidikan memengaruhi kepribadian masing-masing. Yang jelas, Soeharto dan Megawati merupakan pemimpin yang pendendam. Beda dengan Habibie, Gus Dur atau Bung Karno yang relatif mudah memaafkan.
Soekarno dan Soeharto dikategorikannya sebagai pemimpin otoriter. Habibie dan SBY menjalankan kepemimpinan demokratis. Sedangkan Megawati dan Gus Dur pemimpin tipe laissez faire atau delegatif.
Menurut model kepemimpinan Marston, Soekarno dan Soeharto merupakan tipe pemimpin dominan. Keduanya sama-sama hendak mendominasi rakyat, keras kepala, dan galak, memiliki motivasi kuat untuk mewujudkan cita-cita. SBY dan Megawati pemimpin tipe compliance, yang selalu berupaya berjalan di jalur hukum (konstitusi), takut jika ada ketentuan perundang-undangan yang dilanggar, serta tak suka konfrontasi dan lamban dalam mengambil keputusan.
Sedangkan Gus Dur adalah pemimpin influencing. Kemudian Habibie lebih berorientasi pada tipe pemimpin steadiness: loyal, suka melayani orang, pecinta damai, dan pekerja keras.
Adapun dari sisi pesan komunikasi politik, Tjipta menggolongkan Soekarno dan Soeharto sebagai pemimpin yang fokus dengan visi dan misi serta action oriented. Habibie serupa (kendati lebih rendah kadarnya) karena ia terlecut untuk meningkatkan kemampuan organisasi (negara).
Presiden Gus Dur dan Megawati mempunyai pesan politik yang tidak jelas. Sedankan SBY gemar beretorika soal visi dan misinya. Khusus untuk Megawati dan SBY, Tjipta mengkategorikan keduanya memiliki pesan komunikasi yang ''menyimpang'' dari umum, yakni kerap mengeluh dan membalas kritik dengan kritik (hlm. 357).
Jika dirangkum, studi Tjipta menyimpulkan hasil yang tak biasa. Menurutnya, dari keenam presiden, komunikasi politik Soeharto-lah yang paling efektif. Negara kita stabil, pembangunan ekonomi berhasil, dan kesejahteraan meningkat. Namun, kata Tjipta, semua itu harus dibayar dengan ongkos sosial-ekonomi-politik yang tinggi.
Soekarno yang macan panggung (orator ulung) hanya di urutan kedua. Tjipta menyimpulkan komunikasi Bung Karno cukup efektif. Demikian jugaHabibie. Sedangkan Gus Dur dan Megawati komunikasinya termasuk tidak efektif. Akan halnya SBY, Tjipta menyebut sang incumbent pada Pemilu 2009 sebagai ''buruk dan tidak efektif''. Di masa SBY, komunikasi politik bangsa Indonesia, bahkan terasa semakin brutal dan beringas. Anarkisme merambah di mana-mana. Kepemimpinan SBY yang selalu dirundung oleh keraguan dan kebimbangan, jelas memberikan kontribusi signifikan pada kekacauan politik di Indonesia sekarang (hlm. 366). Sungguh sebuah simpulan yang berani, meskipun pada saat bersamaan bisa digugat karena masa pemerintahan dan bentuk komunikasi politik SBY bisa berubah seiring waktu. Seperti Megawati, SBY mungkin saja terpilih kembali untuk memerintah Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar